Minggu, 30 Agustus 2009

KENYATAAN LOGIKA MENENTANG AGAMA

Dewasa ini banyak orang yang haus akan kebenaran yang sesungguhnya sehingga dalam setiap kesempatan selalu dimanfaatkan untuk berusaha menyempatkan diri untuk membahas dan mengkaji tentang kebenaran ini sehingga tidaklah mengherankan jika banyak orang yang mulai menyiapkan dirinya serta membekali diri dengan berbagai macam literatur dan berbagai macam pendapat dalam upayanya mencari dan menentukan sebuah kebenaran. Dunia saat ini dihebohkan oleh lahirnya sebuah alat untuk menentukan kebenaran yaitu penggunaan logika dalam kehidupan sehari-hari. dimana dalam bergulirnya waktu akhirnya logika telah menjadi komoditi utama umat manusia dalam mengargumentasikan kebenarannya. Namun hal ini ternyata bagi sebahagian orang dipandang sebagai sebuah alat yang tidak mesti dipakai berhubung manusia pada dasarnya telah memiliki alat menalar secara alamiah yang sifatnya lebih universal dalam menentukan sebuah kebenaran yaitu akal dan pikiran yang tidak membutuhkan logika sedikitpun, karena akal dan pikiran ini dipandang mampu untuk bekerja sesuai dengan fitrahnya sendiri tanpa pembatasan pola tertentu . Logika adalah alat berpikir sistematis yang dicetuskan oleh aristoteles seorang filsuf yunani, yang melengkapi logika tersebut dengan prinsip dasar logika yang bertujuan agar menghindarkan manusia dari kesalahan berpikir. Alih-alih ingin menghindari kesalahan berpikir malah sebaliknya yaitu kebenaran yang ditimbulkan menjadi relatif bagi umat manusia dan pada akhirnya banyak melahirkan dinamika baru yang berkesinambungan hingga saat ini, satu sisi ada yang menghalalkan logika dan disisi yang lain malah mengharamkan dan mengkafirkan pengguna logika dan menurut saya ini benar adanya karena jika kita mengamati tingkah laku umat manusia saa ini maka banyak kita temukan terjadinya pergeseran paradigma manusia dari yang religius menjadi rasionalis materialis (segala sesuatu yang tidak sesuai dengan logika maka ia akan ditolak walaupun ia berupa wahyu sekalipun) . Berikut tanggapan saya terhadap para pengguna logika sekaligus menanggapi beberapa pernyataan yang meragukan kekafiran logika. (pernyataan ini saya kutib dari salah satu situs yang mengkritisi syaikul islam Ibnu Taimiyah tentang pernyataan beliau yang melecehkan logika)
Pernyataan:
“Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, “Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir”. Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif?
Tanggapan :
Menurut pendapat saya apa yang dikatakan oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah bahwa logika itu haram dan mengkafirkan memang sangat tepat karena logika sebenarnya sangat tidak dibutuhkan oleh manusia dalam upayanya guna melakukan sebuah penalaran yang benar karna substansi daripada sebuah kebenaran bukan hanya lewat argumentasi namun terletak pada tingkat keilmuan seseorang artinya bahwa seseorang dapat menalar sesuatu apabila dia telah mampu untuk mencoba menggunakan otaknya untuk berpikir maupun bertindak berdasarkan tuntunan yang tepat, hal ini tentunya tidak terlepas daripada sifat dasar manusia yang cendrung bertanya dan menganalisa sesuatu serta ingin berkarya. untuk menyakinkan bahwa suatu penalaran kita benar maka disinilah peran agama sebagai hakim sesungguhnya, bukannya logika yang prinsip dasarnya kurang tepat dan sangat terbatas sehingga mudah terkontaminasi oleh hawa nafsu mahluk yang berlogika tersebut. Implikasinya jika kita berani untuk menolak logika yaitu maka jalan yang luruslah yang akan kita lalui karena arahnya telah mendapakan tuntunan langsung dari Allah SWT yang Maha Benar dalam membuat aturan.
Pernyaaan :
Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia.
Tanggapan :
Disinilah sebenarnya kerancuan dari pada logika, mengapa demikian? Karena logika dianggab sebagai sesuatu yang mesti digunakan oleh seseorang sedangkan wujud logika itu baru muncul disaat Aristoteles rajin berdebat dengan masyarakat yunani kala itu, maka untuk bentuk survivalnya dalam berdebat maka dicanangkanlah ilmu logika sebagai alat guna menyelamatkannya dari perdebatan-berdebatan yang dialaminya selama itu dengan menggunakan prinsip dasar logika ciptaannya. Padahal sebenarnya manusia secara fitrah lahir dengan segala kemampuannya untuk menggunakan otaknya guna berpikir dan menjawab semua permasalahannya selama ia hidup tanpa mesti berlogika .kita juga sebenarnya harus membedakan mana berpikir dan mana berlogika? Berpikir sifatnya fitrah artinya ada sejak manusia itu dilahirkan dan berfungsi pada saat otak yang merupakan alat berpikir itu mulai sadar tentang lingkungannya. Sedangkan logika adalah alat yang disusun manusia guna mengarahkan pemikiran manusia berdasarkan prinsip logika Aristoteles yang kelemahannya sebenarnya terletak pada tidak adanya campur tangan agama dalam penerapannya sehingga bagaimana pernyataannya bisa mutlak benar kalau hakimnya (agama) tidak digunakan. Perlu juga kita mengetahui dan renungkan bahwa tidak ada segala sesuatu yang sama dengan dirinya sendiri misalnya anda sendiri. Sebuah contoh “apakah sama anda disaat membaca jawaban saya ini dengan anda sebelum membaca jawaban saya ini?” artinya bahwa segala sesuatu janganlah dipandang dari segi wujudnya saja namun sikap, sifat dan pengaruh yang timbul juga masuk dalam kenyataan yang ada pada diri kita .
Jika kebenaran cuma didasarkan terhadap kekuatan argumentasi maka ini adalah sesuatu yang sangat besar kesalahannya karena argumentasi tergantung pada bahasa sedangkan bahasa adalah sesuatu yang terbatas sehingga jika sesuatu itu terbatas maka hasilnya juga pasti terbatas pula.

Pernyataan :
Sebagai contoh perkataan ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri “Man tamanthaqa faqad fazandaqa” juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan.
Tanggapan :
Seperti yang saudara nyatakan bahwa “sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya” artinya jika sesuatu itu dasarnya sudah kurang maka hasilnya juga pasti kurang seperti itu juga logika apabila prinsip dasarnya kurang maka sudah pasti kesimpulannya juga kurang. Oleh sebab itu sangatlah tidak mengherankan jika kebenaran yang dihasilkan dengan metode logika selalu relatif tergantung kapasitas keilmuan tiap –tiap yang menggunakannya. Seharusya kita mestinya sadar bahwa apa yang dijabarkan dalam prinsip-prinsip logika diatas merupakan fitra manusia dalam berpikir jadi walau tanpa mempelajari prinsip tersebut secara fitrahnya manusia akan menggunakannya juga tanpa harus belajar logika dahulu apalagi sampai dibatasi dengan prinsip dasar tertentu. yang perlu digaris bawahi bahwa prinsip dasar tersebut bukan patokan manusia untuk dijadikan alat guna menyatakan sebuah argumentasi yang benar karena masih ada komponen agama berupa wahyu dan hadits-hadits yang shohih yang mesti ditambahkan untuk melahirkan kesimpulan yang akurat. artinya agamalah yang mengawasi prinsip dasar logika ini guna menghasilkan kebenaran yang sesungguhnya bukan logika yang mengawasi agama.
Pernyataan :
Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
Tanggapan :
Menurut saya sangat spakat dengan apa yang dikatakan oleh beliau tenang haramnya logika, karena kerusakan dimuka bumi ini adalah sebagian besar sumbangan dari pada penggunaan logika tadi yang secara sadar dan tidak sadar manusia berpikir untuk sebuah kebenaran yang relatif karena kebenaran itu cuma miliknya sendiri yang disepakatinya sendiri pula dan anehnya selalu saja berubah-ubah sesuai dengan tingkat pengetahuan manusia, berbeda dengan kebenaran agama (Islam) dimana kebenarannya mutlak benar dan sampai kapanpun tidak berubah-ubah dari awal sampai akhirnya. sebuah pernyataan benar apabila sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh agama (kebenaran pernyataan manusia tunduk pada kebenaran peryataan wahyu).
Mengapa sampai kita harus memberi predikat kafir bagi orang yang berlogika karena dia mengikuti pola yang salah artinya aristoteles berbuat salah karena dia membuat prisip dasar logika yang penuh dengan kekurangan. karena jika sebaliknya maka didunia ini seharusnya sudah tidak ada lagi yang relatif namun kebenarannya sudah mutlak dan sempurna.
Pernyataan :
“Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa.” Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
Tanggapan :
Pada kesimpulannya logika nyata menentang agama hal ini berdasarkan pernyataan anda sendiri yang mengatakan bahwa “tanpa logika agama takkan dapat terpahami “artinya bahwa pemahaman agama tergantung pada penggunaan logika seseorang inikan sama saja dengan pernyataan Rene descartes yang mencoba menentukan kebenaran berdasarkan pikirannya “Aku berfikir, karena itu aku ada” sehingga otoritas kebenaran ada pada mahluk itu sendiri yang berhak menentukan kebenaran, apa bedanya anda dengan sufastaiyyah yang anda sebutkan diatas.
Saudaraku manusia dibekali akal dan pikiran untuk memahami agama, bukan nanti seseorang itu belajar berlogika baru agama dipahami namun agama tetap akan dipahami manusia yang memfungsikan akal dan pikirannya tanpa logika semata karena logika dan akal pikiran adalah dua hal yang berbeda polanya. Dimana logika bergantung terhadap prinsip dasarnya sedangkan akal dan pikiran bergantung kepada semua yang dapat dijadikan rujukan baik dari dirinya, lingkungannya maupun dari Tuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar